Kerangka
Berfikir Ilmiah
Definisi.
Pertama yang
harus didefinisikan adalah kata definisi itu sendiri. Mengapa
demikian? Tanpa kita sadari secara penuh, sebenarnya “Definisi” adalah
unsur pengetahuan yang kita butuhkan. Baik dalam kehidupan Ilmiah maupun dalam
kehidupan sehari-hari kita sering berurusan dengan “Definisi”[2].
Lalu apa defenisi
dari “Defenisi”? Secara sedrhana defenisi adalah Batasan
/Membatasi sesuatu sehingga kita dapat memiliki pengertian terhadap
sesuatu atau memberikan pengertian/penjelasan tentang sesuatu hal dan
disertai dengan batasan-batasan sehingga hal tersebut menjadi jelas.
Karena teori ini mengharuskan adanya “Batas” dalam sebuah objek yang
hendak didefinisikan, secara langsung juga membutuhkan sesuatu yang menjadi
karakteristiknya.[3] Apa
karakteristik itu? Secara singkat dapat kita sebut sebagai Genera (Jenis)
dan Difffferentia (Sifat pembeda). Dapat disimpulkan
bahwa inti dari definisi yang pertama ini adalah menjelaskan sesuatu yang
terbatas. Konsekwesinya, jika sesuatu tidak terbatas maka tidak dapat
didefinisikan.
Jika kita mencoba
mendefinisikan judul diatas (kerangka berpikir ilmiah) maka kurang lebih
seperti berikut:
Kerangka adalah
sesuatu yang menyusun atau menopang yang lain, sehingga sesuatu yang lain dapat
berdiri, dan Berpikir merupakan gerak akal dari satu titik ke
titik yang lain. Atau bisa juga gerak akal dari pengetahuan yang satu ke
pengetahuan yang lain. Pengetahuan pertama kita adalah ketidaktahuan (kita tahu
bahwa kita sekarang tidak mengetahui sesuatu), pengetahuan yang kedua adalah
tahu (kemudian kita mengetahui apa yang sebelumnya tidak kita tahu). Wajar
kemudian ada juga yang mendefinisikan berpikir sebagai gerak akal dari tidak
tahu menjadi tahu. Tapi yang penting (inti pembahasannya) adalah adanya gerak akal.
Ilmiah adalah
sesuatu hal/penyataan yang bersifat keilmuan yang sesuai dengan
hukum-hukum ilmu pengetahuan. Atau sesuatu yang dapat dipertanggung
jawabkan, dengan menggunakan metode Ilmiah (Prosedur atau langkah-langkah
sistematis yang perlu diambil guna memperoleh pengetahuan yang didasarkan atas
uji coba hipotesis serta teori secara terkendali). Satu hal yang menjadi garis
bawah adalah “kebenaran ilmiah tidak mutlak, melainkan bersifat sementara,
relatif, metodologis, pragmatis, dan fungsionalis, dan pasti Epistemologis”[4].
Dengan demikian dalam kacamata dunia Ilmiah berdasarkan metode ilmiah, ilmu
pengetahuan sebagai hasil fikir manusia akan terus bertambah tanpa mengenal
batas akhir.Permasalahan Berfikir Ilmiah sudah tentu tidak terlepas
dari kajian filsafat ilmu, karena ia merupakan bagian dari
pengetahuan ilmiah. Sebelum memasuki pembahasan mendalam penting kiranya
saya jelaskan secara singkat apa itu filsafat? (Mengingat kajian kita nantinya
akan banyak bersinggungan dengan keilmuan ini).
Filsafat atau
Falsafah (Arab) Pilosopia (Latin) bada dasarnya berasal dari bahasa Yunani
“Philo” yang berarti cinta dan “Sophia” yang berarti arif, bijaksana
/ pandai. Secara bahasa semula Filsafat lazim diterjemahkan sebagai cinta
kearifan, kepandaian[5].
Namun, cakupan pengertian “Sophia” yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu
“Sophia” tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran
pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat dll.
Pembahasan.
Seorang filosof
pada dasarnya bukan sosok yang menakutkan / kafir / tidak familier, karena
tujuan awal dari filsafat sendiri adalah Love of Wisdom sehingga orang yang
berfikir filsafat hakekatnya adalah pencari kebijaksanaan & mencintainya.
Istilah ini konon pertama di perkenalkan oleh pytagoras.[6]
Jika diatas kita
sudah membahas makna Filsafat secara bahasa, sekarang bagaimana pemaknaan
filsafat itu menurut para filosof besar? Plato; Filsafat adalah
pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran asli. Aristoteles; Filsafat
adalah ilmu (Pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalam
ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan
estetika. Al-Farbi; Filsafat adalah ilmu pengetahuan ttg
alam wujud, bagaimana hakekat yang sebenarnya. Hasbullah Bakry; Ilmu
filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam.[7]
Disini
penulis akan menitik beratkan pada tradisinya, bukan sekedar
pengertiannya.Dari sekian filosof yang kita kenal baik didunia barat maupun
timur, ada satu tradisi yang hampir-hampir menjadi benang merah ketika
menyelesaikan sesuatu sdengan jalan filosofis, yaitu tradisi
berfikir. Filsafat yang mempunyai arti sebagai berpikir secara radikal,
menyeluruh dan sistematis. Maksudnya, dengan berpikir radikal (bhs Yunani
radix=akar) atau sampai ke akar-akarnyabukan cuman dlohirnya, sehingga
melihat sesuatu secara menyeluruh dan tersusun
sehinggadiharapkan kita dapat lebih arif dalam melihat
persoalan. Ketika dilekatkan dengan kata ilmu maka berarti secara radikal,
menyeluruh, komperhensif, diskriptif dan sistematis[8] terhadap
ilmu.
Menurut Jujun S.
Suriasumantri filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah).
Lebih lanjut Jujun mengatakan bahwa semua sistem kefilsafatan selalu berkisar
pada masalah Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi karena, ketiga sub sistem
tersebut selalu berkaitan satu sama lain. Ontologi ilmu terkait dengan
Epistemologi ilmu, dan Epistemologi ilmu terkait dengan Aksiologi ilmu.
Atau secara
sederhana dapat kita katakan bahwa: Epistemologi adalah ilmu yang membahas
tentang sumber pengetahuan berikut kevalidan sebuah sumber. Kedua Ontologi,
membahas tentang hakikat sesuatu dalam hal eksistensi dan esensi. Atau dengan
kata lain keberadaan dan keapaan sesuatu. Ketiga aksiologi, membahas tentang
kegunaan sesuatu. Dalam materi ini saya akan lebih banyak membahas
aspek Epistemologi, yang lainnya hanya untuk memperjelas saja.
Menurut William
S. Sahakian; Epistemologi merupakan “pembahasan mengenai bagaimana kita
mendapatkan pengetahuan : Apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan
dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan
pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia.
Secara Bahasa
/ Lughowi, Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang
berarti pengetahuan. Istilah yang sama dalam bahasa yunani adalah Genosis,
sehingga dalam sejarahnya istilah Epistemologi ini pernah juga disebut
“Genoseologi”.[9] Pengetahuan
dalam hal ini ada beberapa persoalan pokok yang secara garis besar terbagi
dua. Pertama, persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearance)
versus hakikat (noumena/essence): Apakah sumber pengetahuan? Dari mana
sumber pengetahuan yang benar itu datang? Bagaimana cara diketahuinya? Benarkah
ada realita di luar pikiran kita? Apakah kita mengetahuinya?. Kedua,
tentang mengkaji kebenaran atau verifikasi: Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)?
Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dan yang salah?. (Ringkasnya;
Bagaimana kita mengetahui atau memperoleh pengetahuan dan bagaimana menguji
kebenaran pengetahuan tsb / Evaluatif dan Kritis)[10].
Lantas apa itu
pengetahuan? Ada yang mengatakan pengetahuan adalah informasi atau ide, yang
telah diterima sebagai fakta yang benar, bisa jadi itu diperoleh dengan pengindraan
atau kegiatan empirik secara langsung maupun melalui proses penalaran rasional
terhadap ide-ide yang telah ada dalam alam pikir manusia.[11] Dikemudian
hari orang yang lebih menekankan kegiatan empirik untuk memperoleh pengetahuan
dikatagorikan dalam penganut faham Empirisme sedangkan yang mengandalkan pada
rasionalitas disebut sebagai penganut faham Rasionalisme
sebagaimana sejarah Filsafat Barat mencatat; Ada dua aliran pokok
dalam epistemologi. Pertama, idealism atau rasionalism (Plato),
yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran
“akal”, “idea”, “category”, “form”, sebagai sumber ilmu
pengetahuan, dan mengesampingkan peran “indera”. Kedua,
adalah realism atauempiricism (Aristoteles), yaitu
aliran pemikiran yang lebih menekankan peran “indera” sebagai sumber sekaligus
alat memperoleh pengetahuan, serta menomorduakan akal. Kedua aliran tersebut
lahir pada zaman Yunani antara tahun 423 sampai dengan tahun 322 sebelum
Masehi.
Selanjutnya dalam
sejarah filsafat Islam tercatat aliran epistemologi yang menekankan pentingnya
integrasi metode rasionalism dan empiricsm yang
melahirkan metode eksperimen. Dalam metode ini pertentangan antara penalaran
rasio dan empiri seperti yang dianut Barat dihilangkan. Metode ini dikembangkan
oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam, yaitu ketika ilmu dan
pengetahuan lainnya mencapai titik kulminasi antara abad IX dan XII Masehi.
Kemudian diperkenalkan di dunia Barat oleh filsuf Roger Bacon (1214-1294) serta
dimantapkan sebagai paradigma ilmiah atas usaha Francis Bacon (1561-1626).
Fakta ini diperkuat oleh H.G. Wells yang menyatakan bahwa “jika orang Yunani
adalah bapak metode ilmiah, maka orang Muslim adalah bapak angkatnya”. Dalam
perjalanan sejarah maka lewat orang Muslimlah dunia modern sekarang ini
mendapatkan kekuatan dan cahayanya, dan diakui telah memberi sumbangan besar
bagi lahirnya renaissans dalam peradaban Barat (Insya Allah akan dibahas
nanti, jika memungkinkan, jika tidak ya tetap bisa dipelajari & bisa
dibaca).
Setelah
mengetahui pokok dasar dari epistemologi adalah “Bagaimana kita mendapat
pengetahuan” perlu kiranya kita mengetahui sumber-sumber pengetahuan. Secara
umum ada beberapa mazhab pemikiran yang berusaha menawarkan sumber-sumber
pengetahuansebagai mana berikut:
1. Skriptualisme
Skriptualisme
adalah sebuah sistem berpikir yang dalam menilai kebenaran digunakan teks
kitab. Asumsi dasar yang terbangun adalah teks dalam kitab mutlak adanya, oleh
karenanya dalam penilain kebenaran harus sesuai dengan teks kitab.
Mempertanyakan teks kitab sama saja dengan mempertanyakan kemutlakan. Biasanya
kaum skriptual adalah orang yang beragama secara sederhana. Maksudnya, peran
akal dalam wilayah keagamaan sangat sempit bahkan hampir tidak ada. Akal
dianggap terbatas dan tidak mampu menilai, olehnya kembali lagi ke teks
kitab. Namun dalam wilayah epistemologi, skriptualisme memiliki beberapa
kekurangan, antara lain:
· Tidak
memiliki alasan yang jelas, mengapa kita harus mempercayai kitab tersebut.
Kalau yang mutlak adalah teks kitab, maka pertanyaannya “Bagaimana caranya
diantara banyak kitab menilai bahwa kitab inilah yang benar”. Kalau kita
langsung percaya, maka kitab lain juga harus kita langsung percaya. Nah, kalau
kontradisi, kitab yang mana benar? Artinnya, kelemahan pertamanya adalah butuh
sesuatu dalam membuktikan kebenaran sebuah kitab.
· Dari
kelemahan pertama dapat kita turunkan kelemahan berikutnya, yakni: terjebak
pada subjektifitas. Artinya, kebenaran sebuah kitab sangat tergantung pada
umatnya. Kebenaran Al Qur’an, walau berbicara universal, hanya dibenarkan oleh
umat Islam. Umat Nasrani, Budha dan sebagainya meyakini kitab mereka
masing-masing. Sementara kita tidak dapat memaksakan kitab kita pada umat lain
sebagaimana kita pun pasti tidak akan menerima teks kitab umat lain
· Kelemahan
ketiga adalah teks adalah “tanda” atau simbol yang membutuhkan penafsiran.
Kitab tidak bisa berinteraksi langsung, tetapi melewati proses penafsiran.
Sementara dalam penafsiran sangat tergantung kualitas intelektual dan spiritual
seseorang. Makanya kemudian, adalah wajar jika sebuah teks dapat dimaknai
berbeda. Sebagai contoh, surah 80:1
“Alif laam miin”
Teks tidak dapat membuktikan
pencipta
2. Idealisme Platonian
Pemikiran Plato
dapat digambarkan kurang lebih seperti ini. Sebelum manusia lahir dan masih
berada di alam ide, semua kejadian telah terjadi. Olehnya, manusia telah
memiliki pengetahuan. Ketika terlahir di alam materi ini, pengetahaun itu
hilang. Untuk itu yang harus manusia lakukan kemudian adalah bagaimana
mengingat kembali. Pengetahuan yang kita miliki hari ini kemarin dan akan
datang sebetulnya (dalam perspektif teori ini) tidak lebih dari pengingatan
kembali. Teori ini juga sering disebut sebagai teori pengingatan kembal. Namun
sebagai alat penilaian, teori ini memiliki beberapa kekurangan.
· Tidak
ada landasan yang memutlakkan bahwa dahulu kita pernah di alam ide
· Turunan
dari yang pertama, kalaupun (jadi diasumsikan teori ini benar) ternyata sebelum
lahir kita telah memiliki pengetahuan, maka persoalannya adalah apakah
pengetahuan kita saat ini selaran dengan pengetahuan kita sewaktu di alam ide.
Kalau dikatakan selaras, apa yang dapat dijadikan bukti.
· Ketiga,
tidak diterangkan dimanakah ide dan material itu menyatu (saat manusia belum
dilahirkan), dan mengapa disaat kita lahir, tiba-tiba pengetahuan itu hilang.
Kalau dikatakan material kita terlalu kotor untuk menampung ide, maka mengapa
saat ini kita bukan saja memiliki ide, tapi bahkan mampu mengembangkan ide
disaat material kita justru semakin kotor.
3. Empirisme
Doktrin empirisme
berlandaskan pada pengalaman dan persepsi inderawi. Oleh karena itu, kebenaran
dalam doktrin ini adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra manusia.
Bangunan sains kita pada hari ini sangat kental nuansa empirisnya. Tetapi
empirisme memiliki kekurangan sebagai berikut:
· Indera
terbatas mata misalnya memiliki daya jangkau penglihatan yang berbeda.
Begitupun telinga dan indera lainnya. Olehnya indera hanya bisa menangkap
hal-hal yang bersifat terbatas atau material pula. Makanya fenomena penyembahan
dan jatuh cinta misalnya, tidak dapat dijawab dengan tepat oleh kaum empiris.
· Indera
dapat mengalami distorsi. Sebagai contoh terjadinya fatamorgana atau pembiasan
benda pada dua zat dengan kerapatan molekul berbesa. Ketika kita masukkan
pensil ke dalam gelas berisi air kita akan melihatnya bengkok karena kerapatan
molekul air, gelas dan udara sebagai medium berbeda. Padahal jika kita periksa
ternyata pensil tetap lurus.
4. Kaum Perasa (Intuisi)
Kaum perasa
selalu menjadikan perasaannya sebagai tolok ukur kebenaran. Ciri khas mereka
adalah “Yakin saja”. Mereka menganggap dirinya sebagai orang yang paling mampu
mendengar suara hatinya, dan menjadikan suara hatinya sebagai ukuran kebenaran.
Banyak orang beragama seperti ini padahal sistem berpikir macam ini memiliki
kekurangan dalam pembuktian kebenaran sebagai berikut:
· Tidak
jelas yang didengar itu adalah suatu hati atau justru sekedar gejolak
emosional, atau bahkan (dengan pendekatan orang beragama) justru bisikan setan.
Jangan sampai hanya gejolak emosi lantas dianggap suara hati, atau bisikan
setan. Nah persoalannya bagaimana membedakannya?
· Kalau
pun didengar adalah suara hati, maka akan subjektif. Karena hati orang berbeda.
Jika subjektif, maka yang didapatkan adalah relativitas, bukan kemutlakan.
· Tidak
punya landasan mengapa kita mesti mengikuti suara hati. Kalau akal
menjustifikasi penggunaan hati berarti tidak konsisten. Tetapi kalau
menggunakan hati sebagai alasan mengapa harus mengikuti suara hati, maka kembali
ke point sebelumnya.
Selanjutnya dalam
kacamata Epistemologi ada beberapa istilah yang penting untuk diketahui
seperti Skeptisme; Dalam bahasa yunaninya adalah Skeptomai maknanya
saya berfikir dengan seksama atau saya lihat dengan teliti, kemudian diturunkan
arti yang dihubungkan dengan kata tersebut yaitu “Saya Meragukan”. Adalah Naif
jika ada orang yang tidak pernah meragukan sesuatu apapun, dengan meragukan
maka proses verifikasi akan terjadi. Kemudian Subjektivisme; Mengandaikan
bahwa satu-satunya hal yang dapat kita ketahui dengan pasti ada dalam diri kita
sendiri & kegiatan sadar kita. Dengan kata lain pengetahuan yang bukan AKU
adalah pengetahuan yang tidak langsung. Sehingga muncul apa yang disebut dengan
The Problem of Bridge (Soal Jembatan Pengetahuan), yaitu Bagaimana orang dapat
keluar dari pikirannya sendiri dan mengetahui dunia objektiv diluar kita?
Bagaimana kita bisa tau bahwa gagasan itu memang sesuai dengan Objeknya sendiri
(Bukan cuman ilusi kita) Relativisme; Mengingkari adanya dan
diketahuinya kebenaran yang Objektiv dan Universal oleh manusia (Kebenaran yang
ada dimanusia adalah kebenaran yang bersifat relatif)[12]
Mana yang
Rasional..? Menurut Kang Jalal, sesutu kadang dianggap tidak rasional
karena tiga hal. Pertama tidak empiris. Sesuatu yang tidak dicerna indra
manusia biasanya dianggap tidak rasional. Hal ini umumnya menghinggapi orang
yang sangat empiris. Kedua menyimpang dari rata-rata. Sewaktu perang Khaibar,
kaum muslim menundukkan benteng terakhir kaum Yahudi. Para sahabat sejumlah 50
laki-laki yang kuat tidak mampu mengangkat pintu benteng itu, tapi Sayyidina
Ali mampu mengangkatnya sendirian. Ini dianggap tidak rasional, padahal hal ini
rasional hanya tidak seperti kebanyakan. Ketiga tidak tahu. Ketidaktahuan
adalah kelemahan yang orang berusaha tutupi dengan penisbahan stigma irasional.
Rasionalisme
tidak menutup diri dari teks, pengalaman atau persepsi inderawi, juga perasaan.
Akan tetapi kaum rasionalis menggunakan akal dalam menilai semua yang ditangkap
oleh bagian diri kita. Namun bagi sekelompok orang, akal tidak dapat digunakan
untuk menilai kebenaran. Alasannya, akal terbatas. Artinya penggunaan akal
sangat dekat dengan mengakal-akali sesuatu.
Memang benar
bahwa akal terbatas dibanding PenciptaNya (selanjutnya dibahas dalam
materi NDP / Dasar-Dasar Kepercayaan), akan tetapi akal sebagai
potensi untuk tahu, dimana batasnya? Hukum akal menyatakan bahwa sebab selalu
mendahului, lebih kuat dari akibat. Jadi kesadaran akal sebagai ciptaan atau
akibat pasti memiliki keterbatasan dihadapkan dengan penciptaNya. Cuma
persoalannya adalah sejauh mana kita gunakan akal kita untuk mengetahui.
Dalam kacamata
seorang filsuf bahwa manusia adalah binatang berakal. Secara Biologis manusia
memiliki syarat-syarat kebinatangan seperti respirasi, eksresi, regenerasi dan
sebagainya. Bedanya Cuma satu, akal. Artinya manusia yang tidak menggunakan
akalnya bisa lebih buruk daripada binatang.
Kadang orang merancukan
antara akal dan otak. Katanya, otaklah yang berpikir. Untuk menjawab hal ini
sederhana. Seandainya otak yang berpikir, maka tentu saja kerbau adalah makhluk
yang cerdas karena volume otaknya lebih besar dari manusia. Ternyata kedokteran
modern menemukan bahwa dalam otak terdapat sel yang disebut neuron. Neuron
inilah yang mengkoordinasikan kerja syaraf dalam tubuh dimana tubuh disisi
kanan diatur melalui tulang belakang menuju ke otak kiri begitupun sebaliknya.
Artinya otak tidak ada hubungannya dengan akal. Otak tidak lebih dari sebuah
organ seperti jantung, paru-paru dan sebagainya.
Dalam diri kita ada beberapa
fakultas pengetahuan, diantaranya:
· Indera,
yang mencakup warna, bentuk, bunyi, bau,dam sebagainya. Perbedaan dengan
empirisme, empirisme menjadikan indera sebagai tolok ukur sedang rasionalisme
menjadikan indera sebagai sumber pengetahuan namun bukan utama.
· Khayal.
Hasil persekutuan ide yang tidak memiliki realitas eksternal. Misalnya ide
manusia dan monyet yang kesemuanya memiliki realitas eksternal, namun jika
digabungkan menjadi kera sakti yang hanya memiliki realitas internal (dalam
ide) tapi tidak direalitas eksternal.
· Wahmi.
Berkaitan dengan perasaan. Benci, cinta, rindu, jengkel dan sebagainya. Ilmu
secara wahmiyah seperti pada kaum perasa diatas. Cuma perbedaannya wahmi masih
dikontrol, bukan sebagai patokan utama.
· Akal.
Fakultas dalam diri kita yang mengontrol semuanya.
Kita telah sampai
pada pentingnya akal dalam menilai sesuatu. Namun, persoalannya lagi bahwa
ternyata akal pun masih bisa salah. Artinya akal tidak mutlak. Untuk menjawab
hal ini, kita kembali ke pendefinisian awal. Berpikir adalah gerak akal. Hal
ini berarti menandakan adanya proses. Analogi sederhana motor adalah akalnya,
mengendarai motor adalah menggerakkan motor dari satu titik ke titik lain, atau
berpikir. Dalam proses itu harus menaati aturan yang ada. Jika kita tidak
menaati aturan seperti lampu lalu lintas dan rambu-rambu maka akan terjadi
kecelakaan. Berpikir dengan tidak menaati rambu-rambu atau aturan berpikir akan
menyebabkan kecelakaan berpikir.
Jadi terjadi
kesalahan berpikir bukan akalnya yang salah, tapi penggunaannya yang tidak
tepat. Untuk itu kita harus mengetahui bagaimana aturan berpikir yang mutlak
adanya, yang itupun harus dinilai kebenarannya.
Seorang pemikir
telah membantu kita menyusun prinsip atau aturan berpikir tersebut yang sering
disebut logika aristotelian atau logika formal sebagai berikut:
1. Prinsip
identitas. Prinsip ini menyatakan bahwa sesuatu hanya sama dengan dirinya
sendiri. Secara matematis dirumuskan: X=X
2. Prinsip non
kontradiksi. Prinsip ini menyatakan bahwa tiada sesuatu pun yang
berkontradiksi. Sesuatu berbeda dengan bukan dirinya. Jika diturunkan melalui
rumus matematika: X ≠ X
3. Prinsip
kausalitas. Prinsip ini menyatakan bahwa tidak ada sesuatupun yang kebetulan.
Setiap sebab melahirkan akibat.
4. Prinsip
keselarasan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap akibat selaras dengan
sebabnya.
Kira-kira begini:
Kambing jika kita
beri emas dan rumput ia tidak akan mengambil emas karena rumput = rumput dan
emas = emas artinya justru prinsip ini berlaku universal.
Ketika kita
menangkap sesuatu kama akal kita akan mengatakan bahwa tidak mungkin dia ada
dengan sendirinya, pasti ada penyebabnya. Dan akibat pasti selaras dengan
sebabnya. Tidak mungkin benih jagung menyebabkan tumbuhnya pohon kurma. Semua
yang ada di alam ini adalah bukti kemutlakan prinsip yang niscaya lagi rasional
ini.
Untuk menjelaskan
hal itu Aristoteles juga mengembangkan metode ke dalambeberapa
macam (Yang sebenarnya tidak jauh beda): 1. Induksi yaitu penalaran dari yang
khusus kepada yang umum, 2. Deduksi yaitu penalaran dari yang umum kepada yang
khusus 3. Observasi yaitu penggunaan bukti empiris, 4. Klasifikasi yaitu
penggunaan definisi. Beberapa metode yang bermunculan sesuai dengan bidang
keilmuannya diantaranya phytagoras mengembangkan metode perhitungan matematika,
democritus dengan mengajukan konsep mekanisme. Dan metode ilmiah akhirnya
menjadi sebuah tahapan yang bervariasi sesuai dengan disiplin ilmumyang
dihadapi & untuk jelasnya silahkan baca buku logika atau kajian.
Pengantar Prinsip dan
Bentuk Epistemologi Islam
Sesungguhnya cara
berpikir rasional dan empirik merupakan bagian yang sah dari epistemologi
Islam, bahkan menjadi unsur permanen dalam sistem epistemologinya. Metode
eksperimen misalnya adalah produk kultur otentik dari budaya berpikir logis
dengan bukti-bukti empiris yang dikembangkan sarjana-sarjana Muslim. Sejarah
membuktikan dengan ditemukannya Aljabar, Manthiq, Ilmu Falak dan
lain-lain di dunia Islam jauh sebelum Eropa mengenal metode eksperimen
dan hanya terkungkung pada corak berpikir monolinear antara
rasionalisme atau empirisme serta mengesampingkan peran ajaran agama
(sekularisme).
Di samping itu,
salah satu karakteristik terpenting dari epistemologi Islam serta membedakannya
dari epistemologi Barat yang sekular adalah masuknya nilai-nilai ajaran
normatif agama secara signifikan sebagai prinsip-prinsip dalam epistemologi
Islam. Wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits) diyakini memiliki peran sentral dalam
memberi inspirasi, mengarahkan, serta menentukan skop kajian ke arah mana sains
Islam itu harus ditujukan. Konsepsi ini mempunyai akibat-akibat penting
terhadap metodologi sains dalam Islam. Sehingga tidak heran bila kemudian wahyu
diletakkan pada posisi tertinggi sebagi cara, sumber dan petunjuk pengetahuan
Islam.
Permasalahannya,
mengapa epistemologi Islam masih harus disandarkan pada wahyu apabila dengan
metode eksperimennya telah dicapai titik sebuah kebenaran logis-empiris?
Jawabnya adalah bahwa manusia diyakini memilki keterbatasan kemampuan untuk
mengetahui hakikat ilmu pengetahuan. Kenyataan membuktikan paradigma yang telah
dibangun manusia terus menghadapi dilema-dilema besar yang semakin sulit
dipecahkan. Dalam konteks ini manusia memerlukan petunjuk sebagai premis dari
kebenaran. Premis kebenaran itu pastilah bersumber dari yang Maha Benar, yaitu
Tuhan. Tuhan telah mewahyukan kebenarannya lewat Al-Qur’an. Namun begitu,
Kuntowijoyo mengatakan bahwa penerimaan premis kebenaran yang bersumber dari
wahyu ini bersifat observable, dan manusia diberi kebebasan untuk
mengujinya.
Pertanyaan
selanjutnya adalah apa sesungguhnya dasar paling sentral dari nilai-nilai
ajaran Islam yang menjadi prinsip-prinsip epistemologinya?. Dalam Islam kita
mengenal adanya konsep tauhid (iman), yaitu konsep sentral yang menekankan
keesaan Allah, Allah tunggal secara mutlak, tertinggi secara metafisis dan
aksiologis, dan bahwa Allah adalah pusat dari segala sesuatu, berawal dan
berakhir pada-Nya. Dia-lah Sang Pencipta, dengan perintah-Nya segala sesuatu
dan peristiwa terjadi. Implikasi doktrinalnya yang lebih jauh adalah bahwa
tujuan kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya.
Dalam Al-Qur’an,
fenomena alam sering dilukiskan sebagai tanda-tanda Allah; bahwa semua yang
terjadi, pada akhirnya menuju kepada satu Pencipta yang menciptakan, Pengatur
dengan suatu sistem tunggal dan Penggerak dengan keteraturan tunggal. Konsep
tauhid (iman) inilah yang kemudian dipakai oleh ilmuwan muslim dalam berusaha
menjabarkan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran, kesatuan pengetahuan,
kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia serta dijadikan dasar sentral dari
landasan epistemologi Islam.
Ok, Kaitannya dengan
ini, Dr. Mahdi Gulsyani menulis
“Suatu keyakinan
kokoh pada prinsip tauhid membuat sang peneliti melontarkan pandangan
menyeluruh kepada alam, bukannya hanya melihat alam secara sepotong-sepotong.
Hal ini membuatnya mampu menerangkan keselarasan dan tatanan dunia fisik. Tanpa
suatu keyakinan kokoh pada kehadiran tatanan dan koordinasi pada alam,
penelitian ilmiah tidak akan memiliki makna universal; dan paling banyak
nilainya hanya bersifat sementara. Beberapa ilmuwan percaya pada keberadaan
tatanan dan koordinasi pada alam, tanpa mempercayai atau memperhatikan prinsip
tauhid; namun, menurut kami, tanpa mempercayai at-tauhid, tidak
akan ada keterangan memuaskan tentang tatanan kosmis” (Gulsyani, 1984)
Sampai di sini
ilmuwan muslim bersepakat bahwa konsep tauhidlah yang menjadi prinsip pokok
dalam epistemologi Islam.
Dengan begitu
semakin jelas bagi kita, bahwa epistemologi Islam berupaya untuk menunjukkan
arah kepastian kebenaran, di mana epistemologi ini berangkat dan berawal dari
kepercayaan, serta selanjutnya memantapkan kepercayaan itu melalui
perenungan-perenungan, penalaran, pemikiran, dan pengamatan yang disandarkan
pada wahyu Tuhan (Al-Qur’an dan Al-Hadits), dan diyakini bahwa kebenaran wahyu
tersebut merupakan kebenaran tertinggi, mengandung ayat (bukti), isyarat,
hudan (pedoman hidup) dan rahmah(rahmat).
Sebenarnya konsep
tauhid dalam Islam ini hampir serupa dengan konsep panteologisme yang dianut
agama lain. Yaitu sama-sama berakar pada pandangan teosentris. Namun, paradigma
teosentris yang dianut Islam berbeda dengan teosentris agama lain dengan alasan
bahwa sistem tauhid memiliki arus balik kepada manusia. Paradigma teosentris
Islam (iman) selalu dikaitkan dengan amal manusia. Keduanya merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Pusat dari perintah zakat – misalnya – adalah
iman kepada Allah, tapi ujungnya adalah terwujudnya kesejahteraan sosial. Dengan
demikian, dalam Islam, konsep teosentris bersifat humanistik. Artinya, manusia
harus memusatkan diri kepada Allah (iman), tetapi tujuannya adalah untuk
kepentingan manusia sendiri (amal). Dalam formulasi lain, Islam mengenalkan
konsep dualisme manusia; sebagai hamba (abdun) yang menyembah
Penciptanya (beriman), dan sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi
yang harus senantiasa bersosialisasi dengan jenis dan lingkungannya (beramal).
Lantas, apabila
prinsip epistemologi Islam adalah tauhid, bagaimanakah bentuk kongkrit dari
epistemologi Islam dalam mengkaji ilmu pengetahuan?
Seperti yang
dijelaskan sebelumnya bahwa, pada awalnya diakui jika epistemologi Islam
dipengaruhi oleh epistemologi yang berkembang di Yunani. Aliran pokok yang
diikuti oleh ilmuwan muslim adalah aliran rasionalism yang
dikembangkan oleh Plato (423-347 SM) dan aliran realism yang
dikembangkan oleh Aristoteles (384-322). Namun karena didapati antara keduanya
saling memposisikan aliran “dirinyalah” yang paling benar, maka ilmuwan
muslimpun mencari alternatif pemecahannya dengan cara menggabungkan antara
keduanya sehingga lahirlah metode eksperimen.
Metode ini telah
dikembangkan oleh ilmuwan muslim antara abad ke-9 dan ke-12 Masehi, diantaranya
adalah Hasan Ibn Haitsam – biasa disebut Alhazen di Eropa –yang melahirkan
karya tentang teori-teori fisika dasar, Jabir Ibn Hayyan atau Al-Jabar – biasa
disebut Geber di Eropa – yang lahir pada pertengahan abad ke-8, melahirkan
karya tentang kimia secara konfrehensif, dan masih banyak ilmuwan lainnya.
Selain metode
eksperimen di atas, Islam mengakui intuisi sebagai salah satu bentuk
epistemologinya. Terlepas dari kontroversi yang digencarkan ilmuwan Barat yang
menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi tidak dapat
dijelaskan melalui proses logis-empiris, yakni tanpa pengamatan (observasi),
tanpa deduksi (logis), bahkan tanpa spekulasi (rasional), ilmuwan muslimpun
meyakini intuisi sebagai sumber kebenaran paling tinggi. Dan sumber kebenaran
ini hanya berada di bawah otoritas wahyu Tuhan (al-Qur’an), termasuk tradisi
kenabian (Al-Hadits).
Selain
dinisbahkan kepada wahyu, metode intuisi sering juga disebut dengan istilah
lain yang subtansinya relatif sama, di antaranya adalah ilham (kasfy). Terminologi
tersebut dimaksudkan untuk membedakan antara pengetahuan intuitif yang
berbentuk wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits) yang diterima oleh Nabi, dengan
pengetahuan intuitif yang berbentuk ilham yang diterima oleh manusia. Pembedaan
tersebut adalah implikasi dari keyakinan Islam bahwa kemampuan pengetahuan
antara Nabi dan manusia biasa berbeda.
Pada perkembangan
epistemologi Islam selanjutnya, lahirlah metode lain sepertinadzr, tadabbur,
tafakkur, bayyinah, burhan, mulahadzah, tajrib, istiqra’, qiyas, tamsil,
ta’wil, dzati, hissi, khayali, ‘aqli, syibhi dan lain sebagainya.
Namun pada dasarnya dalam diskursus dunia pemikiran Muslim setidaknya ada tiga
aliran penting yang mendasari teori pengetahuannya. Yaitu, (1) pengetahuan
rasional, (2) pengetahuan inderawi, dan (3) pengetahuan kasfy lewat
ilham atau intuisi.
Making money - How to make money in casinos - Work Tomake
BalasHapusMaking money · 1. To งานออนไลน์ make money · 2. To make money · 3. To make money · 4. To make money · 5. To make money · 6. Make money · 7. Make money · 8. Make money · 9. Make money febcasino · deccasino 10.
Play Spades Online for Free, No Download Or Registration
BalasHapusPlay Spades online free with no download or registration required. No download required luckyclub and no registration required. Practice for free, Rating: 4.4 · 41 votes · Free · Game